Maaf
Ibu
Oleh:
Mona Athifa
Mungkin
saja hadirku kurang menyenangkan hatimu. Belum mencerahkan hari-harimu. Dan
belum mengoptimalkan senyummu. Ibu, Aku hanya ingin satu, tolong hargai
keberadaanku.
Tolong jangan tuntut aku dengan ucapan yang sedikit
menyindir apalagi mengikuti seseorang yang suksesnya belum tentu sama jika aku
mengikuti caranya.
Andai
ibu tahu, aku sudah berperang otak untuk memikirkan bagaimana caranya aku
menjadi yang terbaik di matamu. Tapi tetap saja salah di matamu. Aku tahu, kamu sudah banyak melewati berbagai
rintangan dalam hidupmu, hingga akhirnya kamu mendapatkan apa yang ibu
inginkan. Aku tahu, dulu dengan cacian, ibu bisa seperti ini. Tapi apakah itu
berlaku juga denganku, ibu? Seoranga anak yang sangat membutuhkan motivasi
bukan sindiran yang memabukkan.
Aku
juga tahu, ibu sangat mencemaskan masa depanku. Ibu juga gak percaya bahwa aku
bisa memegang hidupku sendiri. Tapi, apakah ibu tahu kalau aku hadir karena
izin Allah dan kesuksesan juga atas izin Allah. Aku gak tau lagi harus berkata
seperti apalagi. Aku sebagai anak pertama begitu capek dengan tuntutan harus
berhasil dan bisa menjadi panutan untuk adik-adik kelak bisa mengikuti
kesuksesan aku. Ibu, apa kau tidak pernah melihat titik lelah yang sengaja aku
sembunyikan darimu? Aku kalah, ibu. Aku gagal untuk menjadi seperti yang ibu
inginkan. Aku gak bisa memberikan ibu dalam hal materi. Mungkin saat ini hanya
doa yang kususun rapi dalam bait doaku untukmu, ibu.
Terlalu
sulit hidup yang harus aku perankan sendirian, sementara sayapmu enggan
melindungiku. Bahkan perlindungan untuk diriku sendiri tidak kamu terima dengan
alasan aku belum punya apa-apa yang bisa memberikanmu ini dan itu sama seperti
anak-anak yang lain, bisa memberikan materi dan kebahagiaan disetiap gunjingan
baik tentang anakmu. Maaf untuk tidak bisa membanggakanmu secepat yang ibu
inginkan.
Maaf
ibu, aku tidak bisa menyampaikan bagaimana gelisahnya hatiku ketika aku tidak
mendapatkan cinta darimu, aku hanya mendapatkan ketusan, cacian, sumpah, dan
penolakan untuk aku bisa menjadi sukses. Dengan tulisan inilah, aku lebih leluasa
menyampaikan betapa sedihnya hati ini. Betapa terpuruknya hati ini saat aku
ingin benar-benar diakui sebagai anak yang membutuhkan perlindungan. Apa salah,
ibu? Di saat aku belum berkeluarga, apakah aku bisa dipercaya bahakn ibu selalu
memotivasiku dalam aktivitas yang aku inginkan.
Ibu,
bukan sindiran yang kumau, tapi disaat kamu bisa menguatkan aku. Menguatkan aku
disaat aku merasa tertekan bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata ibu
belum bisa memahami aku. Belum bisa mengerti aku, pemikiran aku, ataupun cara
pandangku. Ibu selalu menomor satukan apa yang ibu katakana sendiri. Ibu, aku
gak banyak menuntut, aku hanya ingin satu, tolong hargai keberadaanku. Bukankah
jika sudah mengharga, ibu gak akan membanding-bandingkan anak sendiri dengan
yang lain? Atau membandingkan dengan saudara-saudaranya.
Seakan
aku masih bertanya-tanya, ibu. Apakah hadirku hanya untuk menuruti isi hati dan
perkataanmu? Apakah suara dan pembelaanku tak dipentingkan? Apakah pendidikanku
dikatakan percuma? Dan profesiku malah dicemooh dengan tawa menyindir? Ibu,
tolong dengarkan aku sekali aja, olong rasakan betapa sedihnya anakmu setiap
hari, bahkan untuk merasa senang aja harus mikir-mikir, sebab aku takut dengan
ucapanmu yang terus-terusan membuat hati patah. Ibu, apakah air mataku tidak
berharga di hatimu?
Aku
tau dan sangat mengerti ibu, bahwa miskinnya kita pasti akan dicemooh oleh
orang-orang, tidak diakui. Bukankah ibu menginginkan perubahan dalam keluarga
kita? Menaikkan derajat keluarga? Sudah aku usahakan ibu, aku mencoba untuk
tidak peduli dengan diriku sendiri untuk melakukan apa yang aku suka dan
berharap akan berhasil. Tapi ketika ibu tidak memahaminya, ibu menghambat
semuanya. Tidak layak seorang anak membenci ibunya sendiri. Dan dalam posisi
ini, aku memanglah salah, menentang apa yang ibu ingin dan harapkan.
Mendengar
kisah anak-anak dari temanmu sedikit, ibu sampaikan kepadaku. Seakan ibu
menginginkan kebahagiaan yang dimili oleh teman-teman ibu. Ibu, bolehkan aku
bertanya? Apakah hadirku tidak membuatmu bahagia? Apakah aku harus mengikuti
semua ucapanmu? Ibu pasti gak tau, kalau aku hampir menyerah untuk semua kisah
yang harus aku atur sendiri bahkan kisahku saja enggan ibu intip. Tidak
mempedulikan hatiku bahkan semakin menjadi-jadi untuk berbuat sesuka ibu. Aku
bahkan sadar diri, ibu, aku menggunakan fasilitas yang ibu berikan kepadaku,
bahkan aku masih tinggal bersamamu.
Menikah?
Ya, aku juga mengharapkan itu, tapi jodohnya juga belum keliatan, apakah harus
dicemooh lagi? Aku ingin berkarya dan bebas tanpa ada rasa takut, ibu. Hanya itu.
Dan engkau takkan mengerti. Takkan mengerti. Masalah yang satu belum tuntas,
kini, ibu menuntutku untuk segera menikah dengan umur yang seharusnya untuk berkeluarga.
Tidak mempedulikan hatiku bahkan harus mendapatkan seseorang yang bisa
membanggakanmu, sama halnya seperti anak dari teman-teman ibu, menikah dengan
seseorang yang bisa menjamin kehidupan. Apakah aku juga harus begitu, ibu?
Ibu,
aku ingin bebas berkarya tanpa ada rasa takut. Aku ingin bebas berbicara tanpa
disanggah dengan sindiran. Apakah bisa, bu? Sebab uangmu bukan yang kuinginkan,
meskipun dengan materi aku bisa menjadi seperti ini.
Aku hanya ingin ibu memahamiku sedikit saja tanpa harus menyinggung perasaanku
November 2021