Minggu, 21 November 2021

Maaf Ibu

Maaf Ibu

Oleh: Mona Athifa

            Mungkin saja hadirku kurang menyenangkan hatimu. Belum mencerahkan hari-harimu. Dan belum mengoptimalkan senyummu. Ibu, Aku hanya ingin satu, tolong hargai keberadaanku.

Tolong jangan tuntut aku dengan ucapan yang sedikit menyindir apalagi mengikuti seseorang yang suksesnya belum tentu sama jika aku mengikuti caranya.

            Andai ibu tahu, aku sudah berperang otak untuk memikirkan bagaimana caranya aku menjadi yang terbaik di matamu. Tapi tetap saja salah di matamu.  Aku tahu, kamu sudah banyak melewati berbagai rintangan dalam hidupmu, hingga akhirnya kamu mendapatkan apa yang ibu inginkan. Aku tahu, dulu dengan cacian, ibu bisa seperti ini. Tapi apakah itu berlaku juga denganku, ibu? Seoranga anak yang sangat membutuhkan motivasi bukan sindiran yang memabukkan.

            Aku juga tahu, ibu sangat mencemaskan masa depanku. Ibu juga gak percaya bahwa aku bisa memegang hidupku sendiri. Tapi, apakah ibu tahu kalau aku hadir karena izin Allah dan kesuksesan juga atas izin Allah. Aku gak tau lagi harus berkata seperti apalagi. Aku sebagai anak pertama begitu capek dengan tuntutan harus berhasil dan bisa menjadi panutan untuk adik-adik kelak bisa mengikuti kesuksesan aku. Ibu, apa kau tidak pernah melihat titik lelah yang sengaja aku sembunyikan darimu? Aku kalah, ibu. Aku gagal untuk menjadi seperti yang ibu inginkan. Aku gak bisa memberikan ibu dalam hal materi. Mungkin saat ini hanya doa yang kususun rapi dalam bait doaku untukmu, ibu.

            Terlalu sulit hidup yang harus aku perankan sendirian, sementara sayapmu enggan melindungiku. Bahkan perlindungan untuk diriku sendiri tidak kamu terima dengan alasan aku belum punya apa-apa yang bisa memberikanmu ini dan itu sama seperti anak-anak yang lain, bisa memberikan materi dan kebahagiaan disetiap gunjingan baik tentang anakmu. Maaf untuk tidak bisa membanggakanmu secepat yang ibu inginkan.

            Maaf ibu, aku tidak bisa menyampaikan bagaimana gelisahnya hatiku ketika aku tidak mendapatkan cinta darimu, aku hanya mendapatkan ketusan, cacian, sumpah, dan penolakan untuk aku bisa menjadi sukses. Dengan tulisan inilah, aku lebih leluasa menyampaikan betapa sedihnya hati ini. Betapa terpuruknya hati ini saat aku ingin benar-benar diakui sebagai anak yang membutuhkan perlindungan. Apa salah, ibu? Di saat aku belum berkeluarga, apakah aku bisa dipercaya bahakn ibu selalu memotivasiku dalam aktivitas yang aku inginkan.

            Ibu, bukan sindiran yang kumau, tapi disaat kamu bisa menguatkan aku. Menguatkan aku disaat aku merasa tertekan bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata ibu belum bisa memahami aku. Belum bisa mengerti aku, pemikiran aku, ataupun cara pandangku. Ibu selalu menomor satukan apa yang ibu katakana sendiri. Ibu, aku gak banyak menuntut, aku hanya ingin satu, tolong hargai keberadaanku. Bukankah jika sudah mengharga, ibu gak akan membanding-bandingkan anak sendiri dengan yang lain? Atau membandingkan dengan saudara-saudaranya.

            Seakan aku masih bertanya-tanya, ibu. Apakah hadirku hanya untuk menuruti isi hati dan perkataanmu? Apakah suara dan pembelaanku tak dipentingkan? Apakah pendidikanku dikatakan percuma? Dan profesiku malah dicemooh dengan tawa menyindir? Ibu, tolong dengarkan aku sekali aja, olong rasakan betapa sedihnya anakmu setiap hari, bahkan untuk merasa senang aja harus mikir-mikir, sebab aku takut dengan ucapanmu yang terus-terusan membuat hati patah. Ibu, apakah air mataku tidak berharga di hatimu?

            Aku tau dan sangat mengerti ibu, bahwa miskinnya kita pasti akan dicemooh oleh orang-orang, tidak diakui. Bukankah ibu menginginkan perubahan dalam keluarga kita? Menaikkan derajat keluarga? Sudah aku usahakan ibu, aku mencoba untuk tidak peduli dengan diriku sendiri untuk melakukan apa yang aku suka dan berharap akan berhasil. Tapi ketika ibu tidak memahaminya, ibu menghambat semuanya. Tidak layak seorang anak membenci ibunya sendiri. Dan dalam posisi ini, aku memanglah salah, menentang apa yang ibu ingin dan harapkan.

            Mendengar kisah anak-anak dari temanmu sedikit, ibu sampaikan kepadaku. Seakan ibu menginginkan kebahagiaan yang dimili oleh teman-teman ibu. Ibu, bolehkan aku bertanya? Apakah hadirku tidak membuatmu bahagia? Apakah aku harus mengikuti semua ucapanmu? Ibu pasti gak tau, kalau aku hampir menyerah untuk semua kisah yang harus aku atur sendiri bahkan kisahku saja enggan ibu intip. Tidak mempedulikan hatiku bahkan semakin menjadi-jadi untuk berbuat sesuka ibu. Aku bahkan sadar diri, ibu, aku menggunakan fasilitas yang ibu berikan kepadaku, bahkan aku masih tinggal bersamamu.

            Menikah? Ya, aku juga mengharapkan itu, tapi jodohnya juga belum keliatan, apakah harus dicemooh lagi? Aku ingin berkarya dan bebas tanpa ada rasa takut, ibu. Hanya itu. Dan engkau takkan mengerti. Takkan mengerti. Masalah yang satu belum tuntas, kini, ibu menuntutku untuk segera menikah dengan umur yang seharusnya untuk berkeluarga. Tidak mempedulikan hatiku bahkan harus mendapatkan seseorang yang bisa membanggakanmu, sama halnya seperti anak dari teman-teman ibu, menikah dengan seseorang yang bisa menjamin kehidupan. Apakah aku juga harus begitu, ibu?

            Ibu, aku ingin bebas berkarya tanpa ada rasa takut. Aku ingin bebas berbicara tanpa disanggah dengan sindiran. Apakah bisa, bu? Sebab uangmu bukan yang kuinginkan, meskipun dengan materi aku bisa menjadi seperti ini.

                Aku hanya ingin ibu memahamiku sedikit saja tanpa harus menyinggung perasaanku


November 2021